Tinjauan Ekonomi Islam tentang Preferensi

Dalam analisis ekonomi, preferensi seorang konsumen terhadap sebuah komoditas sangat dipengaruhi oleh kecerdasan orang tersebut dalam memahami konsep preference function (preferensi) dan utility function (nilai guna). Perilaku seorang konsumen terkadang juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam menentukan komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi. Dalam perkembangannya, preferensi seseorang terhadap sebuah komoditas sangat beragam di mana sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap kehidupan(Marton, 2007:73). Preferensi seorang Muslim akan sangat jauh berbeda dengan preferensi seorang non-Muslim. Karena itu, ada tiga unsur yang dapat mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam berkonsumsi, yatu rasionalitas, kebebasan ekonomi, dan utility.

  1. Rasionalitas

Setiap analisis ekonomi selalu didasarkan atas asumsi mengenai perilaku para pelaku ekonominya. Secara umum sering kali diasumsikan bahwa dalam pengambilan keputusan ekonomi, setiap pelaku selalu berpikir, bertindak dan bersikap secara rasional. Misalnya, keputusan seseorang untuk memilih salah satu dari barang sejenis yang lebih murah harganya didasarkan pada pertimbangan rasionalitas bahwa dengan tindakan ini maka kesejahteraannya akan meningkat dan ia tidak peduli dengan kesejahteraan penyedia barang. Demikian pula pada aktivitas ekonomi lainnya, pertimbangan rasionalitas ini sangat dominan digunakan dalam analisis.

Terminologi rasionalitas merupakan terminologi yang sangat longgar. Argumentasi apa pun yang dibangun, selama hal tersebut memenuhi kaidah-kaidah logika yang ada, dan oleh karenanya dapat diterima akal, maka hal ini dapat diangap sebagai bagian dari ekspresi rasionalitas. Oleh karena itu, terminologi rasionalitas dibangun atas dasar kaidah-kaidah yang diterima secara universal dan tidak perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan kebenarannya, yang disebut sebagai aksioma. Aksioma-aksioma ini akan diposisikan sebagai acuan dalam pengujian rasionalitas dari suatu argumen atau perilaku. Dalam banyak hal, aksioma digali dari nilai-nilai dari suatu budaya yang bersifat universal. Namun, penafsiran operasional dari nilai-nilai tersebut didasarkan pada cara pandang dan berpikir yang ada pada budaya tersebut, sering kali dipengaruhi juga oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya.

  1. Kebebasan Ekonomi

Manusia diberi kebebasan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan melakukan transaksi perekonomian sesama mereka (muamalah). Mengenai muamalah (kegiatan ekonomi) tersebut terdapat kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “Hukum ashal (awal/asli) dari muamalah adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang menyatakan sebaliknya. Artinya, segala kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil nash (Al-Quran dan sunnah) dan tujuan-tujuan syariah dalam perekonomian.

Tujuan-tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam. Pertama, kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas norma-norma moral Islami (QS. 2:60, 168, 172; 6:142; 7:31, 160; 16:114; 20:81; 23:51; 34:15; 67:15). Kedua, tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal (QS. 49:13). Ketiga, distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan.. Keempat, tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. 7:157).

  1. Maksimaliasi Nilai Guna (Utlity)

Dalam teori konvensional nilai guna (utility) digambarkan dengan memiliki barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Keinginan manusia ditentukan secara subyektif. Tiap-tiap orang memiliki atau mencapai kepuasan menurut kriterianya masing-masing. Dalam perspektif Islam, kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah.

  1. Setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan mashlahah

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa untuk mewujudkan kesejateraan falah maka kegiatan ekononomi harus diarahkan untuk mencukupi lima jenis kebutuhan guna menghasilkan mashlahah. Karenanya, pada dasarnya setiap pelaku ekonomi akan berorientasi untuk mencapai Mashlahah ini. Berkait dengan perilaku mencari mashlahah ini, seseorang akan selalu:

1)    Mashlahah yang lebih besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit.

Mashlahah yang lebih tinggi jumlah atau tingkatnya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih rendah jumlah atau tingkatnya atau monotonicity mashlahah yang lebih besar akan memberikan keba­hagiaan yang lebih tinggi, karenanya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih kecil.

2)    Mashlahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu.

Konsep ini sering disebut dengan quasi concavity, yaitu situasi mashlahah yang menunjukkan pola non-decreasing. Karena jika seseorang menderita sakit maka ia akan berusaha mengobati sakit­nya tersebut, sebab sakit tidaklah menyenangkan dan dapat menurunkan mashlahah hidupnya. Selanjutnya dia bersedia menge­luarkan sejumlah pengorbanan tertentu misalnya olahraga, agar tidak jatuh sakit lagi dan lebih sehat di masa depan agar Mashlahah hidupnya semakin meningkat atau setidaknya tetap.

  1. Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran (non-wasting)

Dapat dipahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan, maka diperlukan suatu pengorbanan. Namun, jika pengorbanan tersebut lebih besar dari hasil yang diharapkan, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi pemubaziran atas suatu sumber daya. Perilaku mencegah wasting ini diinginkan oleh setiap pelaku karena dengan terjadinya kemubaziran berarti telah terjadi pengurangan dari sumber daya yang dimiliki tanpa kompensasi berupa hasil yang sebanding.

  1. Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan risiko (risk aversion)

Risiko adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan oleh karenanya menyebabkan menurunkan mashlahah yang diterima. Hal ini merupakan konsekuensi dari aksioma monotonicity dan quasi concavity. Namun, tidak semua risiko dapat dihindari atau diminimumkan. Hanya risiko yang dapat diantisipasi (anticipated risk) saja yang dapat dihindari atau diminimumkan. Ada juga risiko-risiko yang setiap orang bersedia untuk menanggungnya, karena pertimbangan mashlahah yang lebih besar. Untuk itu dalam pembahasan aksioma ini, risiko dibedakan menjadi:

1)    Resiko yang bernilai (Worthed Risk)

Resiko ini mengandung dua elemen yaitu resiko (risk) dan hasil (return). Kedua istilah ini muncul karena dalam hal-hal tertentu hasil selalu terkait dengan resiko, di mana keduanya dapat sepenuhnya diantisipasi dan dikalkulasi seberapa besar peluang dan nilainya. Dengan membandingkan resiko dan hasil maka suatu resiko akan dapat ditentukan apakah resiko tersebut bernilai atau tidak. Suatu resiko dapat dianggap bernilai jika resiko yang dihadapi nilainya lebih kecil daripada hasil yang akan diperoleh.

Kemunculan fenomena worthed risk ini tidak menyimpang dari aksioma-aksioma yang dikemukakan di depan. Dalam konteks tersebut resiko dapat dianggap sebagai pengorbanan bagi seseorang yang memikulnya, sedangkan hasil dapat dianggap sebagai bagian dari mashlahah yang diterima sebagai kompensasi kesediaannya memikul resiko. Jika mashlahah yang diterima lebih besar dari resiko, yaitu pengorbanan, maka pengorbanan tersebut tidak dapat dika­takan sebagai hal yang sia-sia dan karenanya tidak bertentangan dengan aksioma non-wasting. Dalam hal ini mashlahah yang positif berarti juga tidak bertentangan dengan aksioma monotonicity.

2)    Resiko yang tak bernilai (Unworthed Risk)

Meskipun worthed risk telah menjadi fenomena di banyak kegiatan ekonomi saat ini, namun terdapat pula resiko-resiko yang tak bernilai, yaitu ketika nilai hasil yang diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika resiko dan hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi. Objek pembahasan dalam paparan ini dibatasi pada unworthed risk. Dengan kata lain, hanya jenis resiko inilah yang setiap pelaku berusaha untuk menghindarinya.

  1. Setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian

Ketidakpastian dapat menurunkan mashlahah yang diterima. Ke­munculan risiko dalam banyak hal dapat diantisipasi melalui gejala yang ada. Gejala yang dimaksud di sini adalah adanya ketidakpastian (uncertainty). Secara spesifik, situasi ketidakpastian akan dapat menim­bulkan risiko. Dengan begitu suatu ketidakpastian banyak diidentikkan dengan risiko itu sendiri, atau ketidakpastian dianggap sebagai dual dari risiko. Oleh karena itu, situasi ketidakpastian juga dianggap sebagai situasi yang dapat menurunkan nilai mashlahah.

  1. Setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya memi­nimumkan risiko

Dalam kondisi ketidakpastian, setiap pelaku berusaha untuk mencari dan melengkapi informasi serta kemampuannya. Hal ini kemudian digunakan untuk mengkalkulasi apakah suatu risiko masuk dalam kategori worthed atau unworthed sehingga dapat ditentukan keputusan apakah akan menghadapi risiko tersebut atau menghindarinya. Informasi ini dapat digali melalui fenomena kejadian masa lalu ataupun petunjuk/ informasi yang diberikan pihak tertentu.

Dalam kajian ekonomi, preferensi terkait dengan kepuasan, kesukaan dan kecenderungan individu pada suatu barang/jasa. Ada empat prinsip pilihan rasional yang digunakan untuk memaksimalkan kepuasan individu. (Adiwarman Karim, 2010:52) Yaitu:

  1. Completeness.

Aksioma ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang lebih disukainya diantara dua keadaan, dimisalkan A da B adalah dua keadaan maka kemungkinan pilihan yang terjadi adalah A lebih baik dari pada B, B lebih baik dari pada A atau A dan B sama baiknya dan A

  1. Transifility

Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seseorang mengatakan A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C maka ia akan mengatakan A lebih disukai daripada C. Aksioma ini sebenarnya untuk memastikan adanya konsistensi internal di dalam diri individu dalam mengambil keputusan.

  1. Continuity

Aksioma ini menjelaskan bahwa jika A lebih disukai daripada B maka keadaan yang mendekati A pasti juga lebih disukai daripada B. Hal ini menunjukkan kekonsistenan konsumen dalam memilih suatu barang yang nanti akan di konsumsinya.

  1. Lebih Banyak Lebih Baik

Aksioma ini menyatakan bahwa jumlah kepuasan akan meningkat jika individu mengkonsumsi lebih banyak barang/jasa. Hal ini dijelaskan pada kurva kepuasan konsumen (indifference curve) yang semakin meningkat akan memberikan kepuasan yang lebih baik. Sehingga konsumen akan selalu cenderung menambah konsumsinya demi kepuasan yang didapat. Namun tetap dibatasi oleh garis anggaran konsumen (budget constraint).

Dalam ilmu ekonomi klasik dan neo-klasik jika keempat prinsip pembentuk preferensi di atas jika diterjemahkan akan membentuk geometric yang dikenal dengan sebutan indifference Curve yang selanjutnya disingkat IC. (M Nur Riyanto al Arif & Euis Arnalia , 2010 : 111).

Tinggalkan komentar